Jumat, 29 April 2016

(Part 1) Lahirnya Sebuah Koloni



Anak Penguin Raja (sumber : National Geographic)


“Ooo Sephia... malam ini ku takkan pulang... Tak usah kau mencari aku demi cintamu...”

Suara merdu Duta membangunkanku. Perlahan aku mulai membuka mataku dan duduk sejenak dipinggir kasur hingga alunan nada itu berhenti. Aku sengaja memilih lagu mellow sebagai alarm. Lagu yang selalu mengingatkanku akan masa kecilku. Ku kira dengan mendengar lagu itu di pagi hari, aku dapat memulai hari dengan senyum lebar di wajahku. Tapi nyatanya, alarm itu membuatku mulai membenci Duta. “Dasar pengganggu”, gumamku dalam hati. 

Waktu menunjukan pukul 04.52. Duta sudah puas mengangguku dengan syairnya. Aku mulai beranjak dari kasur dan bergegas menuju kamar mandi. Ditengah jalan aku berpapasan dengan sosok yang mengenakan kain putih hampir mengurai ke lantai. Sosok itu menatapku dengan wajah serius. Ya, itulah ibuku, sepertinya beliau geram melihatku tidak bergegas mengejar waktu shubuh yang hampir habis.

Satu jam kemudian, aku sudah siap dengan semua amunisiku. Pakaian yang rapi dan wangi, peralatan tulis, dan almamater baru. Benar saja, pagi ini merupakan hari pertamaku merasakan bangku kuliah. Aku berkesempatan untuk dapat menimba ilmu di salah satu institut yang terletak di pelosok kota pahlawan.

Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri, namaku Hilman Adzim. Orang biasa memanggilku Hilman. Aku lahir di kota dimana jendral A.W.S. Mallaby tewas karena terlalu asyik bermain petak umpet dengan para pejuang. Aku berasal dari keluarga berdarah campuran, separuh Jogja dan separuh Sumatera. Meski demikian aku tetap seratus persen berdarah Suroboyo.

Pagi itu aku sengaja berangkat lebih awal. Hal yang lazim dilakukan oleh mahasiswa baru pada umumnya. Dengan mengenakan kemeja putih, dasi hitam, celana kain yang sedikit kedodoran, dan sepatu pantovel yang mengkilap sekali dalam setahun. Aku melangkah penuh rasa percaya diri menuju gedung BAAK, tempat pendaftaran mahasiswa baru.



Bersambung...