Anak Penguin Raja (sumber : National Geographic) |
“Ooo Sephia... malam ini ku takkan
pulang... Tak usah kau mencari aku demi cintamu...”
Suara merdu Duta membangunkanku. Perlahan aku mulai membuka mataku dan duduk
sejenak dipinggir kasur hingga alunan nada itu berhenti. Aku sengaja memilih
lagu mellow sebagai alarm. Lagu yang selalu mengingatkanku akan masa kecilku.
Ku kira dengan mendengar lagu itu di pagi hari, aku dapat memulai hari dengan
senyum lebar di wajahku. Tapi nyatanya, alarm itu membuatku mulai membenci
Duta. “Dasar pengganggu”, gumamku dalam hati.
Waktu
menunjukan pukul 04.52. Duta sudah puas mengangguku dengan syairnya. Aku mulai
beranjak dari kasur dan bergegas menuju kamar mandi. Ditengah jalan aku
berpapasan dengan sosok yang mengenakan kain putih hampir mengurai ke lantai.
Sosok itu menatapku dengan wajah serius. Ya, itulah ibuku, sepertinya beliau
geram melihatku tidak bergegas mengejar waktu shubuh yang hampir habis.
Satu
jam kemudian, aku sudah siap dengan semua amunisiku. Pakaian yang rapi dan
wangi, peralatan tulis, dan almamater baru. Benar saja, pagi ini merupakan hari
pertamaku merasakan bangku kuliah. Aku berkesempatan untuk dapat menimba ilmu di
salah satu institut yang terletak di pelosok kota pahlawan.
Oh
iya, aku lupa memperkenalkan diri, namaku Hilman Adzim. Orang biasa memanggilku
Hilman. Aku lahir di kota dimana jendral A.W.S. Mallaby tewas karena terlalu
asyik bermain petak umpet dengan para pejuang. Aku berasal dari keluarga berdarah
campuran, separuh Jogja dan separuh Sumatera. Meski demikian aku tetap seratus
persen berdarah Suroboyo.
Pagi
itu aku sengaja berangkat lebih awal. Hal yang lazim dilakukan oleh mahasiswa
baru pada umumnya. Dengan mengenakan kemeja putih, dasi hitam, celana kain yang
sedikit kedodoran, dan sepatu pantovel yang mengkilap sekali dalam setahun. Aku
melangkah penuh rasa percaya diri menuju gedung BAAK, tempat pendaftaran
mahasiswa baru.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar