Minggu, 01 Mei 2016

(Part 2) Lahirnya Sebuah Koloni




Tak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Masih berada ditengah hiruk pikuk suasana pendaftaran. Entah berapa ratus atau bahkan ribu jiwa yang ada di aula ini. Terlihat para orang tua sibuk mengarahkan buah hati mereka. Para ABG itu menenteng map yang berisikan beberapa lembar kertas di dalamnya. Ada yang terlihat santai, tegang, atau bahkan berlarian kesana-kemari. Sementara aku hanya duduk bersandar di tembok sembari menunggu antrean untuk menjalani tes kesehatan. Satu jam berlalu akhirnya aku diperbolehkan keluar dari ruang kesehatan. Tepat di depan pintu aku berpapasan dengan perempuan yang menyelonong masuk, ia melihatku dengan tatapan sinis. Ditambah dengan garis hitam dibawah matanya, seakan menambah seram kesan pertama kubertemu dengannya. Garis itu, aku biasa melihatnya. Tapi entah dimana, aku masih mencoba untuk mengingatnya. Ah aku baru ingat, rupanya dia menggunakan celak, hiasan wajah yang biasa digunakan oleh suku madura. Aku hampir lupa bahwa tetanggaku juga pernah berdandan seperti itu saat mereka menghadiri  acara resmi. Belum sempat kumenjauh dari antrean, terdengar panitia berteriak “Shatila.. Shatila.. Shatila belum tanda tangan kok langsung masuk”. Ooh ternyata itu namanya, sepertinya dia anak yang ceroboh, gumamku dalam hati.

Adzan ashar telah berkumandang. Tak terasa sudah 8 jam aku berada di tempat ini. Hanya untuk mendapatkan kartu tanda mahasiswa dan menunggu hasil tes kesehatan. Sorot mataku terus memandangi ibu-ibu paruh baya yang daritadi membolak-balikan kertas sembari memanggil nama para calon mahasiswa baru. Layaknya para kontestan yang menunggu pengumuman hasil audisi, kami bersabar menunggu di ruang yang pengap ini. Tak berselang lama, akhirnya wanita itu memanggil namaku. Aku segera berjalan dengan langkah canggung karena banyaknya orang yang memandangiku. Lalu ibu itu berkata, “mas, ini hasil tes kesehatannya masih belum, pegawainya masih mau sholat ashar, sementara sampean saya kasih kartunya saja ya, sampean bisa langsung pulang karena berkas kesehatannya akan kami kirim ke jurusan sampean ”. Tanpa bertanya lagi aku hanya mengangguk dan menerima kartu itu. Lega rasanya akhirnya aku bisa segera kembali ke rumah. Setelah keluar dari gedung itu aku berjalan menuju parkiran sambil terus memandangi kartu kramat itu, ingin rasanya segera kembali ke rumah untuk menunjukannya ke kedua orang tuaku. Tertulis nama Hilman Adzim Ekram dan nomor induk 1412100055.


Bersambung...